AMAL-AMAL shalih menghantarkan doa-doa kebaikan dari para orangtua kepada anak-anak mereka, ke sisi Allah. Waktu dan tempat di mana lapis-lapis keberkahan akan diturunkan sebagai jawaban ‘amal dan doa itu ada dalam wewenang Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Namun sungguh, hamba yang telah berdoa dan bekerja takkan pernah rugi meski harapan-harapan mereka ‘ditunda’ mewujudnya.
Boleh jadi ada orangtua yang tak henti mendoakan putranya menjadi anak yang shalih, namun ianya terijabah baru pada keturunannya kesekian yang tak dilihatnya di dunia. Ia tetap menjadi cinta dari kejauhan. Tiada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita, Allah tetap akan menghimpun mereka di dalam surga dan keridhaanNya.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan anak-cucu mereka mengikuti mereka dengan keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikitpun dari pahala ‘amal mereka. Tiap-tiap pribadi terikat dengan apa yang diperbuatnya.” (QS Ath Thuur [52]: 21)
“Allah Subhanahu wa Ta’ala”, demikian Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam Tafsirnya, “Memberitahukan tentang karunia, kemurahan, anugerah, dan kelembutanNya kepada semua hambaNya. Yakni bahwa jika orang-orang mukmin diikuti oleh keturunan mereka dalam keimanannya, maka Allah akan mempertemukan mereka di suatu tempat di dalam surga.”
“Para anak cucu itu dipertemukan dengan nenek moyang mereka pada satu kedudukan yang sama di dalam surga”, lanjut beliau, “Meskipun ‘amal shalih mereka tidak mencapai derajat dari ‘amalan para pendahulunya. Hal ini dianugerahkan Allah agar nenek moyang mereka itu merasa bahagia dengan kehadiran anak-cucunya itu, berkumpul bersama mereka di kediamannya dalam surga.”
“Mereka dihimpunkan dengan cara yang paling baik”, sambungnya, “Yakni anggota keluarga yang mempunyai ‘amal kurang akan ditinggikan derajatnya melalui sanak sesepuh yang ‘amalnya sudah sempurna, namun hal itu tidak menjadikan ‘amal-‘amal mereka berkurang atau kedudukannya turun sedikitpun.”
Faqihnya ummat dan Sang Turjumanul Quran, ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyatakan tentang ayat ini, “Mereka adalah dari keturunan orang-orang mukmin yang meninggal dalam keadaan beriman, maka Allah mengangkat mereka ke derajat yang dicapai oleh orangtuanya meski ‘amal mereka sendiri tidak mencapai kedudukan itu. Hal ini dilakukan Allah untuk membahagiakan hati para nenek moyang mukminin tersebut.”
Demikian itulah lapis-lapis keberkahan dari apa yang diraih para tetua. Dan cinta dari kejauhan juga berlaku sebaliknya.
“Sesungguhnya Allah akan meninggikan derajat seorang hamba yang shalih di dalam surga”, demikian sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dibawakan Abu Hurairah dalam riwayat Ahmad, “Maka diapun berkata, ‘Ya Rabbi, dari manakah aku mendapatkan karunia ini?’ Maka Allah berfirman, ‘Ia bersebab doa istighfar dari anakmu bagimu.”
Demikianlah cinta dari kejauhan menjadi lapis-lapis keberkahan di akhirat. Bagaimana dengan di dunia; apakah ia juga dapat menjelma bersusun-susun rasa surga?
Di penghujung kisah perjalanan belajar Nabi Musa ‘Alaihis Salam kepada hamba Allah yang dijumpainya di tempat pertemuan antara dua lautan yang sering kita sebut sebagai Khidhir, terdapat cerita tentang keberkahan para tetua yang kelak akan melimpahi anak cucunya.
DDiceritakan bahwa Khidhir menegakkan sebuah tembok bangunan yang nyaris rubuh. Beliau melakukannya agar dapat menjaga harta warisan yang dimiliki oleh dua orang anak kecil dan terpendam di bawahnya, sehingga tidak tampak dan diambil oleh orang lain.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحاً فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْراً
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (QS: Al Kahfi [18]: 82)
Imam Al Bazzar mencantumkan dalam musnadnya, dari Abu Dzarr Al Ghiffari Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah menyatakan, “Sesungguhnya harta simpanan yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitabnya ini adalah sebuah lempengan terbuat dari emas yang padanya bertuliskan, ‘Aku takjub terhadap orang yang yakin terhadap takdir, mengapa dia bersedih bersusah payah? Aku takjub pada orang yang mengingat neraka, mengapa dia masih dapat tertawa? Dan aku takjub pada orang yang mengingat kematian, mengapa dia masih lalai lengah? Tiada sesembahan yang haq selain Allah. Muhammad adalah utusan Allah.”
“Di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan”, demikian dikatakan Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Bahwa keturunan orang yang shalih akan senantiasa dipelihara. Ia mencakup keberkahan yang meliputi kecukupan di dunia dan syafa’at di akhirat, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran mapun Sunah.”
“Allah menyebutkan bahwa kedua anak tersebut dijaga dan dicukupi bersebab keshalihan orangtua mereka”, ujar Ibn ‘Abbas. “Di ayat ini tidak disebutkan bahwa mereka adalah anak yang shalih. Keshalihan tersebut ada pada bapak mereka. Adapun yang dimaksud Bapak dalam ayat ini adalah kakek mereka yang ketujuh, yang mata pencahariannya sebagai seorang tukang tenun.”
Segala puji bagi Allah yang menjadikan cinta dari kejauhan, meski hanya berupa doa, sebagai tuah yang berlimpah, menghadirkan bersusun-susun rasa surga, di lapis-lapis keberkahan.*
twitter @Salimafillah
No comments:
Post a Comment